KULTURNATIV.COM - Dua sosok wanita asal Cililin bernama Juwita dan Uti yang mengubah wajit sebagai makanan menak dan kaum elit pada masa pemerintahan kolonial Belanda menjadi makanan merakyat penuh perjuangan dan intimidasi.
Dimulai tahun 1916, Juwita dan Uti mulai mengolah makanan wajit Cililin yang bahan dasarnya adalah beras ketan, gula aren dan kelapa, dijadikan makanan ini hanya untuk dikonsumsi sanak keluarga. Selain itu juga wajit dijadikan sebagai sajian pelengkap saat mengadakan pesta pernikahan atau khitanan serta tanpa berkeinginan untuk dijual ke masyarakat.
Cerita ini diungkapkan generasi keempat dari Juwita dan Uti bernama Samsul Maarif. Dirinya mengaku dulu Juwita dan Uti mendapatkan intimidasi berupa teguran langsung oleh kolonial Belanda untuk memproduksi wajit Cilolin lalu dibagikan kepada kaum elit.
"Kalangan menak dan pejabat kolonial Belanda sudah mengetahui wajit buatan Juwita dan Uti. Mereka sangat menyukai produk wajit Cililin, " ungkap Samsul Ma'arif.
"Jadi mereka (kolonial Belanda) memonopoli dan mengeluarkan aturan bahwa wajit buatan Juwita dan Uti hanya khusus diproduksi dan dibagikan ke kalangan menak dan pejabat kolonial Belanda, " ungkapnya.
Baca Juga: Kisah Niki Suryaman, Rumah Bintang, dan Semangat Saling Bantu
Juwita dan Uti saat itu muak akan aturan tersebut, lalu dua sosok itu pun mulai menularkan ilmunya kepada anaknya bernama Irah. Kata Samsul pada tahun 1936, Irah membuat dobrakan dengan memulai usaha wajitnya itu dan memberanikan dirinya menjual wajit Cililin secara terang-terangan dan tak lagi menjual kepada kaum elit dan kolonial Belanda.
"Irah semakin berani menjual secara terang-terangan karena dulu jual wajit masih satuan jualannya," ujarnya.
Bersama suaminya bernama Zaenal Arifin tahun, dirinya bisa mengembangkan wajit Cililin ini hingga puluhan tahun lamanya. Terlihat dari hasil jualannya itu, dirinya bisa berangkat Haji ke Mekah. Namun jaman dulu karena keberangkatan haji menggunakan kapal yang membutuhkan waktu tiga bulan lamanya.
Sekitar tahun 1951, perkembangan pembuatan wajit Cililin pun semakin berkembang, warga sekitar pun mulai memberanikan diri membuat masing-masing dengan cakupan industri rumahan. Dari sini merek wajit mulai bermunculan, Irah pun membuat merek yang hingga kini melegenda bernama Wajit Potret Hajjah Siti Romlah.
"Dari situ perkembangan wajit Cililin semakin berkembang, yang jualan wajit juga sudah menjamur, puncaknya wajit Cililin terkenal tahun 80-90 an. Ada sekitar 20 pabrik dengan sekup industri rumahan, " ungkapnya.
Membuat terobosan baru mengembangkan warisan makanan hingga puluhan tahun lamanya. Presiden Republik Indonesia kedua Soeharto memberikan penghargaan Upakarti kepada Irah. Lalu dilanjutkan lagi pada generasi ketiga ayah dari Samsul Maarif bernama Ramli beserta istrinya bernama Nani Hasanah dari tahun 1995 hingga 2013.
Hingga sekarang ilmunya itu dan diregenerasi kepada Samsul Maarif menitipkan usahanya itu untuk tetap berinovasi berjualan wajit Cililin. Menurut Samsul Maarif makanan wajit Cililin ini sudah menjadi identitas suatu daerah yang harus tetap dilestarikan tidak hanya ingin mendapatkan keuntungan saja dari hasil penjualannya.