KULTURNATIV.COM – Seperti kiamat kecil, mungkin begitulah pengandaian yang tergambar dari warga berbagai kalangan, khususnya pedagang kecil yang memiliki penghasilan tidak menentu per harinya. Hidup dalam kondisi pandemi tak berkesudahan seperti ini merampas saku perekonomian pedagang. Kondisi yang tak tahu akhirnya kapan dan bagaimana, membuat segala sektor mengalami dampak yang begitu besar.
Hal tersebut dirasakan oleh Umar Komara (74), yang dulunya adalah seorang pegawai salah satu hotel di Jalan Setiabudi Bandung hingga pada tahun 2000. Selanjutnya, Umar membanting stir menjadi seorang penjaja isi ulang korek gas sampai saat ini, dan sekarang menjadi contoh dari keganasan pandemi ini. Berjalan kaki mulai dari terbitnya matahari harus dia lewati hari demi hari untuk mengais rezeki. Jarak bukanlah menjadi suatu rintangan yang menyurutkan semangatnya untuk menghidupi keluarga yang menantinya di rumah saat pulang nanti.
Melangkahkan kaki dari Cimahi hingga sekitaran Jalan Asia-Afrika, Braga, dan Alun-alun Kota Bandung, berharap ada orang yang hendak mengisi ulang korek gas dengan harga yang dibandrol 1000 rupiah saja untuk perkoreknya. Umar mempertaruhkan lapar dan keringat yang tak setimpal dengan tekad dan apa yang diperolehnya.
Begitu sulit menjalankan kehidupan di masa seperti ini, bantuan dari pemerintah yang setidaknya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari pun tak kunjung datang. Malah, Umar merasa bantuan yang ia dengar telah menyebar luas tersebut tidak pernah tepat sasaran. Bagi kalangan rakyat yang terpaksa mempertaruhkan rezekinya di jalanan – jika bukan karena kesadaran masyarakat yang bahu-membahu untuk saling membantu – mereka akan lebih kesulitan dalam menjalani hidup.
“Paling saya hanya dapat (Bansos) waktu itu dari kelurahan saja, beras sepuluh kilo, alhamdulillah selebihnya mah belum pernah lagi. Itu juga awal-awal banget”, ujar Umar.
Melalui penuturan Umar, beberapa tahun lalu sebelum pandemi ini hadir, penghasilan yang diperoleh bisa sampai 60 ribu rupiah per hari. Namun kini sehari penghasilan terbesar Umar pun hanya 40 ribu rupiah saja. Hal itu, Umar tuturkan, hanya cukup untuk sekadar membeli beras bakal makan keluarganya selama beberapa hari ke depan. Bahkan ada kalanya Umar hanya mendapatkan tujuh ribu rupiah saja dalam sehari, yang memaksa Umar untuk hanya membeli satu bungkus nasi dengan lauk sekadar garam saja.
“Seringnya dapat dua puluh sampai tiga puluh ribu terus. Ya dari dulu juga jalan kaki daripada naik angkot bulak-balik (bisa) habis nanti (uang tiga puluh ribunya)”, Umar menambahkan.
Perpanjangan PPKM ini bak ombak besar yang menerjang karang, setelah berjuang mulai dari PSBB hingga berbagai kebijakan lainnya, istilah tersebut kini harus diperpanjang kembali hingga tanggal 9 Agustus 2021. Jeritan masyarakat dalam kondisi yang memprihatinkan, menunggu dan berharap bukan menjadi jalan keluar untuk babak ini.
Sudah kewajiban pemerintah untuk lebih memperhatikan masyarakat yang terdampak, seperti sejumlah buruh yang terkena PHK, pedagang yang gulung tikar, hingga masyarakat yang kurang mampu.
“Kalau seumpama dikasih uang 100 ribu buat diem di rumah ya saya mau. Ini kan diem juga ga dikasih uang, terus kita ga punya penghasilan. Ya mau engga mau harus keluar nyari uang buat makan," pungkas Umar sambil terududuk.
Melihat Umar seperti menggambarkan bagaimana realita saat ini. Pada akhirnya rasa takut akan pandemi Covid-19 akan terkalahkan oleh rasa takut akan kelaparan yang dialami keluarga di rumah.